Doeloe dan Kini
Hampir dua pekan tubuh ini diserang demam. Panas, dingin, menggigil hingga kepala yang pusing. Mulut pun terasa pahit. Sebagai guru Biologi pengetahuan dasar tentang metabolisme pastilah sedikit banyak diketahui. Tak semudah mengajarkan teori layaknya artis di dalam kelas. Menjelaskan dengan piawai, meyakinkan siswa akan apa yang harus dilakukan saat tubuh mengalami kondisi demam.
Pahitnya mulut pasti terjadi saat tubuh mengalami demam tinggi. Hal ini disebabkan karena suhu di dalam rongga mulut juga meningkat bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh. Kondisi ini menyebabkan mulut menjadi kering yang menyebabkan indra pengecap terasa pahit.
Selain itu ketika tubuh demam, ada bagian otak yang bertanggung jawab sebagai penerjemah rasa, kehilangan fungsi untuk sementara waktu. Saat bagian otak ini tidak bisa bekerja secara normal, membuat semua makanan yang masuk ke dalam mulut diterjemahkan sebagai rasa pahit.
Sering kali bekal teori tipis-tipis ini tak mampu menguasai diri. Sehingga mengikuti rasa yang ada, pahit. Maka tubuh pun semakin melemah karena kekurangan nutrisi. Padahal seharusnya meskipun kehilangan nafsu makan namun tetap saja harus memberikan tubuh nutrisi yang cukup agar dapat meningkatkan imun tubuh.
Tulisan ini sebenarnya bukan ingin membahas tentang metabolisme yang terganggu. Namun ingin bercerita bagaimana telah bergesernya nilai dan cara bergaul di masyarakat. Walau memang adanya tulisan ini terkait dengan kondisi tubuh penulis yang sedang dalam pemulihan demam yang sudah diderita selama hampir dua minggu.
Ceritanya begini. Untuk memenuhi nafsu makan tadi, tetiba terbayang bihun goreng yang lezat. Untuk memasaknya sendiri, tubuh saja pun sedang tidak fit. Namun selera untuk menyantap makanan itu semakin tinggi. Ahaa...di ujung gang kami baru saja dibuka warung yang menyediakan berbagai makanan dari mulai ayam penyet, ayam bakar, nasi goreng, mi goreng, mi kuah, dan sebagainya. Jaraknya pun tak jauh dari rumah kami, hanya berkisar 150 meter.
Terinspirasi dengan satu artikel tentang pendidikan di Jepang, di mana anak-anak diajarkan untuk mandiri sehingga anak usia 5 tahun pun bisa pergi sekolah di negara yang serba canggih itu. Penulis segera memanggil dua cucu perempuan yang berusia 7 dan 5 tahun. “Mbak, berani pergi beli mi goreng di warung ujung gang kita itu?” tanyaku. Kedua gadis kecil itu saling berpandangan dan kemudian, “Yang di mana, Mbah Uthi?” Keduanya menjawab hampir bersamaan dengan penuh semangat. Seakan menemukan pengalaman baru.
Kami pun bergegas menuju teras depan. “Itu lho..., Mbak.” Aku menunjukkan warung yang hanya berselang satu rumah itu. Anehnya, kedua cucuku menunjukkan ekspresi gembira namun diliputi keraguan. “Berani enggak...ya?” Tanya si Mbak sambil tersenyum. Aku pun meyakinkannya. “Berani ya..., Mbak. Uthi lihatin dari sini.” Si Adek pun tak kalah semangatnya. “Sini....biar saya yang pegang duitnya.” Pinta si Adek.
Sebelum keduanya melangkah, kuingatkan lagi apa yang harus dibeli, jumlah makanan dan juga jumlah uangnya. Mereka mengangguk yakin.
Keduanya berpegangan tangan dan terdengar, “Mau beli apa....sayang?” suara Ibu penjual jelas di telingaku karena memang jaraknya dekat. Suara si Mbak sayup kudengar menjawab pertanyaan tersebut.
“Uthi..., Mbak ke mana?” Dua kali pertanyaan ini dilontarkan penuh kekhawatiran karena kebetulan Bapaknya si Mbak saat pulang kerja melihat kedua anaknya ada di warung ujung gang itu.
Kejadian sore ini, membawa kenangan masa lalu. Di mana anak-anak bebas bermain di dalam gang berpindah dari halaman rumah yang satu ke yang lain. Disuruh ke warung membeli kekurangan kebutuhan dapur pun hal yang biasa. Sekarang, tidak demikian. Seingatku, kedua cucuku ini hanya keluar rumah saat pergi ke sekolah ataupun acara keluarga yang tentunya bersama orang tua. Selebihnya bermain di dalam rumah. Demikian pula anak-anak lain di gang kami.
Hubungan silaturrahim antara orang tua tetap masih ada dalam bentuk pengajian yang diadakan dua minggu sekali. Namun, kegembiraan anak-anak bermain tak lagi dijumpai. Dalam pengamatan penulis ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, antara lain :
1. Orang tua yang bekerja seharian, banyak anak-anak ada yang bersekolah full day. Jika pun tidak, anak-anak banyak yang dititipkan di tempat penitipan ataupun di rumah keluarga sehingga saat pulang di sore hari sudah dalam keadaan kelelahan. Tetap berada di dalam rumah, adalah solusi terbaik.
2. Lingkungan yang tidak ramah anak. Baik karena orang yang berkendaraan dengan kecepatan yang tinggi atau karena masing-masing rumah yang tertutup sehingga memberi peluang terjadinya kejahatan tanpa diketahui orang banyak.
3. Perangkat elektronik yang tersedia bagi anak. Membuat mereka asyik bermain sendiri di dalam rumah dan kamarnya sendiri.
Sejatinya, kepada anak-anak tetap harus diajarkan untuk mengenal lingkungannya dan membekali mereka dengan kemandirian sehingga siap untuk menjalani hidup di masa depan.
#edisikuatkanhatire26#
#asyiknyabacalingkungan#
Baiti Jannati, Perisai Pribumi, 16 Februari 2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar